Page

Sabtu, 21 Juni 2014




Menikah itu artinya siap menua bersama
Tentu inginnya menua bersama dengan penuh bahagia
Dan salah satu indikator pasangan bahagia adalah ketika bisa saling mendapat ketentraman, ketenangan hati, dan bertambahnya rasa cinta, kasih sayang serta bertambahnya ketaqwaan kepada Allah subhanhu wa ta'ala di saat bersama..

Minggu, 15 Juni 2014

teruntuk siapapun yang hendak menikah, silahkan untuk menjadi bahan renungan dan carilah jawabannya...

Biasanya apa saja sih persiapan sebelum menikah? Beberapa di antaranya mungkin sedang Anda siapkan adalah:
  • a. Memilih gedung tempat resepsi
  • b. Fitting baju pengantin
  • c. Membuat daftar undangan
  • d. Menentukan paket bulan madu
  • e. Dan lain-lain
Tentu saja semua itu adalah hal penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tapi kesibukan mempersiapkan hal-hal tadi justru sering membuat orang lupa merenungkan dan mempersiapkan yang sebenarnya justru jauh lebih penting dan mendasar.

Persiapan itu bukan berupa benda atau materi, tapi lebih ke pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental, misalnya:
  • a. Betulkah saya sudah betul-betul siap mental untuk menikah?
  • b. Pernikahan seperti apa yang ingin saya bangun?
  • c. Apa yang ingin saya raih dalam pernikahan itu?
  • d. Konsep keluarga bahagia menurut saya itu seperti apa?
  • e. Apakah saya sebagai suami akan mampu membimbing istri dan anak-anak untuk mengingat Allah, disaat ibadah saya masih bolong-bolong?
  • f. Apakah saya nanti sebagai istri akan bisa menerima dan tidak mengeluh jika nanti keluangan keluarga tidak seperti yang diharapkan?
  • g. Apakah nanti saya takkan tergoda mencari yang lain ketika kulit pasangan mulai mengendur dan berkeriput?

Bagi yang belum punya jawaban yang jelas untuk pertanyaan tadi, ayo segera kita renungkan dan cari jawabannya.

Gimana, sudah menemukan jawabannya? Sekarang, bagaimana kalau pertanyaan-pertanyaan diatas kita tanyakan juga kepada calon pasangan kita?:

  • a. Apakah ia sudah punya jawabannya?
  • b. Kalau belum, apakah Anda siap mendengar jawabannya?
  • c. Kira-kira, apakah jawabannya akan sama, atau minimal mirip dengan jawaban Anda?

Sadarkah Anda, banyak pasangan yang menikah tanpa lebih dahulu memahami dan merenungkan persiapan yang paling mendasar itu?

Dapat dibayangkan, untuk "perjalanan" penting ini, yang bagi sebagian besar orang hanya dilakukan sekali seumur hidup, kita malah hampir-hampir tidak punya persiapan memadai.

Betulkah pernikahan serumit itu sih? Perasaan dulu kakek-nenek kita ngga gitu-gitu amat deh.

Lebih baik pertanyaan itu diajukan di awal, bukan malah mencari jawabannya di dalam perjalanan pernikahan itu sendiri.

Kalau jawabannya bisa didapat dari buku sih masih mending. Apa jadinya kalau jawaban-jawaban dari pertanyaan itu didapat dari kejadian yang menimpa rumah tangga kita?

Sedemikian pentingnya persiapan pra-nikah, seharusnya membuat kita mengisi masa jelang nikah dengan pengetahuan tentang pernikahan.

Buat Anda yang saat ini sudah menikah dan belum merenungkan pertanyaan-pertanyaan tadi, maka proses menggali, mengenali serta memahami diri sendiri dan pasangan tersebut, bisa dilakukan saat ini juga.

Tak pernah ada kata terlambat untuk sebuah perubahan yang lebih baik.

(AKU KAU KUA, http://bukupernikahan.com)

Sifat Ahlul Jannah

Penulis : Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِيْنَ غَيْرَ بَعِيْدٍ. هَذَا مَا تُوْعَدُوْنَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيْظٍ. مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيْبٍ. ادْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ ذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُوْدِ. لَهُمْ مَا يَشَاءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Dzat Yang Maha Pemurah padahal Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (Qaf: 31-35)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Ia mendekatkan Al-Jannah kepada orang-orang yang bertakwa, dan bahwa para penghuninya adalah yang memiliki empat sifat berikut ini:

Pertama, Awwab, yakni selalu kembali/bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari mendurhakai-Nya kepada menaati-Nya dan dari lalai mengingat-Nya menuju ingat kepada-Nya.

‘Ubaid bin ‘Umair mengatakan: “Al-Awwab adalah yang mengingat dosanya lalu beristighfar darinya.”
Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan: “Al-Awwab adalah orang yang berdosa lantas bertaubat kemudian jatuh dalam dosa lagi lalu bertaubat lagi.”
Kedua, Hafizh, (menjaga)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yakni menjaga apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala amanahkan kepadanya dan Dia wajibkan atasnya.”
Qatadah mengatakan: “Menjaga apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala titipkan kepadanya berupa hak-Nya dan kenikmatan.”
Dan ketika jiwa itu punya dua kekuatan; kekuatan untuk menuntut (ofensif) dan kekuatan untuk menahan diri (defensif), maka sifat awwab menggunakan kekuatan ofensifnya dalam usaha kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kepada ridha-Nya dan ketaatan kepada-Nya. Sedang hafiizh menggunakan kekuatan pertahanannya untuk menahan diri dari maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari larangan-larangan-Nya. Sehingga arti hafizh adalah yang menahan diri dari apa yang diharamkan atasnya. Sedangkan awwab adalah yang menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.
Ketiga, ‘orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala padahal ia tidak melihat-Nya.’

Tersirat di dalamnya bahwa orang tersebut mengakui dan mengimani adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, sifat rububiyyah-Nya, kemampuan-Nya, ilmu-Nya, dan penglihatan-Nya terhadap segala keadaan hamba. Dan tersirat pula padanya pengakuan dan iman terhadap kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, perintah dan larangan-Nya. Juga tersirat padanya pengakuan dan iman terhadap janji-Nya, ancaman-Nya serta pertemuan dengan-Nya. Sehingga tidak sah takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala padahal ia tidak melihatnya kecuali setelah ini semua.
Keempat, ‘ia datang dengan kalbu yang bertaubat.’

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Bertaubat dari maksiat-maksiat kepada-Nya menghadap untuk taat kepada-Nya.”
Hakikat taubat adalah ketetapan kalbu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan cinta kepada-Nya serta menghadap kepada-Nya.
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan balasan terhadap orang-orang yang memiliki sifat ini dengan firman-Nya:

ادْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ ذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُوْدِ. لَهُمْ مَا يَشَاءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ

“Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.”

(Diterjemahkan dari kitab Al-Fawa‘id hal, 20-21, oleh Qomar ZA)

Sumber : http//:www.Asysyariah.com