Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan (Lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17, at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53).
Oleh sebab itu orang arab menyebut jalan yang biasa dilalui orang dengan istilah thariq mu’abbad (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34])). Yaitu jalan yang telah dihinakan, karena telah banyak diinjak-injak oleh telapak kaki manusia (Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34). Sehingga, ibadah bisa diartikan dengan perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan (Lihat at-Tanbihat al-Mukhtasharah Syarh al-Wajibat, hal. 28).
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang makna ibadah, yang pada hakikatnya semua definsi itu saling melengkapi. Di antaranya mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para rasul-Nya (Lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17). Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga menerangkan bahwa ibadah itu mencakup ketundukan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta membenarkan berita yang dikabarkan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 45)
Ibnu Juraij rahimahullah mengatakan bahwa ibadah kepada Allah artinya adalah mengenal Allah (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [7/327]). Yang dimaksud mengenal Allah di sini adalah mentauhidkan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz sebelum keberangkatannya ke Yaman. Beliau bersabda, “.. Hendaklah yang pertama kali kamu ajak kepada mereka adalah supaya mereka beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla -dalam riwayat lain disebutkan untuk mentauhidkan Allah-, kemudian apabila mereka sudah mengenal Allah…” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Nawawi [2/49] cet. Dar Ibnul Haitsam, lihat pula Shahih Bukhari cet. Maktabah al-Iman, tahun 1423 H, hal. 203 dan 1467. Lihat juga Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 80 cet. Dar al-Hadits tahun 1423 H)
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34]). Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34).
Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)
Ibadah juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud firman Allah (yang artinya), “Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Beliau menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/75])
Di dalam kitabnya al-’Ubudiyah (Lihat al-’Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh, tahun 1425 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hal. 54 cet. al-Maktab al-Islami tahun 1423 H). Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati/batin dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah (Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan di dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul (Lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 23 cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah tahun 1424 H) bahwa pengertian ibadah bisa dirangkum sebagai berikut; suatu bentuk perendahan diri kepada Allah yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syari’at-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam, tahun 1416 H).
Dari pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada perintah-Nya, sedangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi larangan-larangan-Nya. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul yang terakhir.
Ibadah/amalan akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah jika memenuhi 2 syarat; ikhlas dan ittiba’ (Lihat Mazhahiru Dha’fil ‘Aqidah fi Hadzal ‘Ashr wa Thuruqu ‘Ilajiha, oleh Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 10 cet. Kunuz Isybiliya, tahun 1430 H. Sebagian ulama menambahkan syarat ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali dalam Abraz al-Fawa’id Syarh Arba’ al-Qawaid).
Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak dipersekutukan dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah beribadah karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini merupakan kandungan dari syahadat anna Muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ atau membuat bid’ah (Silahkan baca al-Bid’ah, Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, oleh Syaikh Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi hafizhahullah, cet. Jami’ah al-Islamiyah bil Madinah al-Munawwarah).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] Baca juga al-Qawa’id wa al-Ushul aj-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 40-42 cet. Dar al-Wathan tahun 1422 H).
Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang tidak ittiba’ -alias berbuat bid’ah- maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’ (Lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar Syarh Jawami’ al-Akhbar karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 14 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah, tahun 1423 H). Oleh sebab itu para ulama, di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) dalam surat al-Mulk [ayat 2] sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling benar (Lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93).
Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah/ajaran Nabi (Lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah, hal. 19 cet. Dar al-Hadits, tahun 1418 H). Bukan dengan cara-cara bid’ah. Bid’ah adalah tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syari’at, dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah ta’ala (lihat al-Bid’ah, Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, hal. 13). Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at Islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula (Lihat pula Ighatsat al-Lahfan min Masha’id asy-Syaithan, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 16 cet. Dar Thaibah, tahun 1426 H). Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala cara’.
Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara shihhatil irodah (ketulusan niat) dengan shihhatul fahm (kelurusan pemahaman). Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa kedua hal tadi -shihhatul irodah dan shihhatul fahm- merupakan anugrah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai diriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah pernah berdoa, “Allahumma ahyinaa ‘alal islam, wa amitnaa ‘alas sunnah.” Artinya: “Ya Allah, hidupkanlah kami di atas islam (tauhid), dan matikanlah kami di atas Sunnah.”
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
http://muslim.or.id/aqidah/mengenal-hakekat-ibadah.html
Oleh sebab itu orang arab menyebut jalan yang biasa dilalui orang dengan istilah thariq mu’abbad (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34])). Yaitu jalan yang telah dihinakan, karena telah banyak diinjak-injak oleh telapak kaki manusia (Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34). Sehingga, ibadah bisa diartikan dengan perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan (Lihat at-Tanbihat al-Mukhtasharah Syarh al-Wajibat, hal. 28).
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang makna ibadah, yang pada hakikatnya semua definsi itu saling melengkapi. Di antaranya mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para rasul-Nya (Lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17). Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga menerangkan bahwa ibadah itu mencakup ketundukan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta membenarkan berita yang dikabarkan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 45)
Ibnu Juraij rahimahullah mengatakan bahwa ibadah kepada Allah artinya adalah mengenal Allah (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [7/327]). Yang dimaksud mengenal Allah di sini adalah mentauhidkan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz sebelum keberangkatannya ke Yaman. Beliau bersabda, “.. Hendaklah yang pertama kali kamu ajak kepada mereka adalah supaya mereka beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla -dalam riwayat lain disebutkan untuk mentauhidkan Allah-, kemudian apabila mereka sudah mengenal Allah…” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Nawawi [2/49] cet. Dar Ibnul Haitsam, lihat pula Shahih Bukhari cet. Maktabah al-Iman, tahun 1423 H, hal. 203 dan 1467. Lihat juga Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 80 cet. Dar al-Hadits tahun 1423 H)
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34]). Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai kesempurnaan sikap tunduk.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34).
Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)
Ibadah juga diartikan dengan tauhid. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud firman Allah (yang artinya), “Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Beliau menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/75])
Di dalam kitabnya al-’Ubudiyah (Lihat al-’Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh, tahun 1425 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hal. 54 cet. al-Maktab al-Islami tahun 1423 H). Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara hati/batin dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah tercakup dalam istilah ibadah (Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan di dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul (Lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 23 cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah tahun 1424 H) bahwa pengertian ibadah bisa dirangkum sebagai berikut; suatu bentuk perendahan diri kepada Allah yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syari’at-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam, tahun 1416 H).
Dari pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan penting bahwa sesungguhnya ibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta dan pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada perintah-Nya, sedangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi larangan-larangan-Nya. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang, maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul yang terakhir.
Ibadah/amalan akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah jika memenuhi 2 syarat; ikhlas dan ittiba’ (Lihat Mazhahiru Dha’fil ‘Aqidah fi Hadzal ‘Ashr wa Thuruqu ‘Ilajiha, oleh Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 10 cet. Kunuz Isybiliya, tahun 1430 H. Sebagian ulama menambahkan syarat ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali dalam Abraz al-Fawa’id Syarh Arba’ al-Qawaid).
Ikhlas artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak dipersekutukan dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah beribadah karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah beribadah karena ingin didengar orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan tuntunan/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini merupakan kandungan dari syahadat anna Muhammadar rasulullah. Lawan dari ittiba’ adalah ibtida’ atau membuat bid’ah (Silahkan baca al-Bid’ah, Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, oleh Syaikh Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi hafizhahullah, cet. Jami’ah al-Islamiyah bil Madinah al-Munawwarah).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah, inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] Baca juga al-Qawa’id wa al-Ushul aj-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 40-42 cet. Dar al-Wathan tahun 1422 H).
Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang tidak ittiba’ -alias berbuat bid’ah- maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’ (Lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar Syarh Jawami’ al-Akhbar karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 14 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah, tahun 1423 H). Oleh sebab itu para ulama, di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) dalam surat al-Mulk [ayat 2] sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling benar (Lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93).
Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah/ajaran Nabi (Lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah, hal. 19 cet. Dar al-Hadits, tahun 1418 H). Bukan dengan cara-cara bid’ah. Bid’ah adalah tata cara beragama yang diada-adakan dan menyaingi syari’at, dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah ta’ala (lihat al-Bid’ah, Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, hal. 13). Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at Islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula (Lihat pula Ighatsat al-Lahfan min Masha’id asy-Syaithan, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 16 cet. Dar Thaibah, tahun 1426 H). Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala cara’.
Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan antara shihhatil irodah (ketulusan niat) dengan shihhatul fahm (kelurusan pemahaman). Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa kedua hal tadi -shihhatul irodah dan shihhatul fahm- merupakan anugrah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai diriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah pernah berdoa, “Allahumma ahyinaa ‘alal islam, wa amitnaa ‘alas sunnah.” Artinya: “Ya Allah, hidupkanlah kami di atas islam (tauhid), dan matikanlah kami di atas Sunnah.”
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
http://muslim.or.id/aqidah/mengenal-hakekat-ibadah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar