Kategori: Aqidah
5 Komentar // 24 July 2010
Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Oleh karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk di dalamnya.
Antara Islam, Iman, dan Ihsan
Suatu ketika Malaikat Jibril ‘alaihis sallam datang di majelis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam rupa manusia, kemudian menanyakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beberapa pertanyaan. Di antara pertanyaannya adalah tentang makna islam, iman, dan ihsan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dan dibenarkan oleh Jibril. Berdasarkan hadist ini [1], para ulama membagi agama Islam menjadi tiga tingkatan yaitu islam, iman, dan ihsan.
Tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba. Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak setiap mukmin itu mencapai derajat muhsin. Pelaku ihsan adalah hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh karena itu, di dalam al Quran disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak yang lainnya.[2]
Makna Ihsan
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).[3]
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian ihsan dan rukunnya.
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.[4]
Tingkatan Ihsan
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah menmberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muroqobah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu).Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,
وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ …{61}
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
Kedua, tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه (‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan.[5]
Keutamaan Ihsan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ {128}
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. An Nahl: 128).
Dalam ayat ini Allah menunjukkan keutamaan seorang muhsin yang bertakwa kepada Allah, yang tidak meninggalkan kewajibannya dan menjauhi segala yang haram. Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan yang khusus. Kebersamaan khusus yakni dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan petunjuk jalan yang lurus sebagai tambahan dari kebersamaan Allah yang umum (yakni pengilmuan Allah). Makna dari firman Allah وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ ( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya, yakni dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan petunjuk yang telah dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.[6]
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {195}
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Al Baqarah:195)
Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa ihsan pada ayat ini mecakup seluruh jenis ihsan. Hal ini karena tidak ada pembatasan pada ayat ini. Maka termasuk di dalamnya ihsan dengan harta, kemuliaan, pertolongan, perbuatan memrintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan ihasan lain yng diperintahkan oleh Allah. Termasuk di dalamnya juga adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda Nabi ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.. Barangsiapa yang memiliki sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah terangkan dalam firman-Nya لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26) Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta menolongnya dalam setiap urusannya.[7].
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا {29}
“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 29)
Penerapan Makna Ihsan dalam Kehidupan
Pembaca yang dirahmati Allah, sikap ihsan ini harus berusaha kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita berbuat amalan kataatan, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika terbesit niat di hati kita untuk berbuat keburukan, maka kita tidak mengerjakannya karena sikap ihsan yang kita miliki. Seseorang yang sikap ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat perbuatannya. Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak seorang hamba. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ke tingkat ihsan dalam seluruh amalannya. Kalau kita cermati pembahasan di atas, untuk meraih derajat ihsan, sangat erat kaitannya dengan benarnya pengilmuan seseorang tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Semoga kita semua dapat mewujudkan ihsan dalam diri kita, sebelum Allah mengambil ruh ini dari jasad kita. Semoga bermanfaat. Allahul musta’an..
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id
[1]. Hadist yang dimaksud adalah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim (102). Terdapat pula dalam Hadist Arba’in No 2.
[2]. Lihat Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul 140-141, Syaikh Sholeh al Fauzan.
[3]. Lihat Syarh Tsalaatsatil Ushuul 95-96, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.
[4]. Lihat Bahjatu Qulubil Abraar 168-169, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.
[5]. Lihat Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadist ke 2, Syaikh Sholeh Alu Syaikh.
[6]. Husuulul Ma’muul 41.
[7]. Taisiirul Kariimir Rahmaan tafsir surat al Baqarah 195, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.
Baca juga :
http://muslim.or.id/aqidah/ihsan-dalam-beribadah.html
http://muslim.or.id/aqidah/islam-iman-ihsan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar