“Iya nanti sajalah”, demikian yang dikatakan dlm rangka menunda-nunda pekerjaaan atau amalan padahal masih bisa dilakukan saat itu. Kebiasaan kita adalah demikian, karena rasa malas, menunda-nunda utk belajar, menunda-nunda utk muroja’ah (mengulang) hafalan qur’an, atau melakukan hal yang manfaat lainnya, padahal itu semua masih amat mungkin dilakukan.
Perlu diketahui saudaraku, perkataan “sawfa … sawfa”, “nanti sajalah” dlm rangka menunda-nunda kebaikan, ini adalah bagian dari “tentara-tentara iblis”. Demikian kata sebagian ulama salaf.
Menunda-nunda kebaikan & sekedar berangan-angan tanpa realisasi, kata Ibnul Qayyim bahwa itu adalah dasar dari kekayaan orang-orang yang bangkrut.
إن المنى رأس أموال المفاليس
“Sekedar berangan-angan (tanpa realisasi) itu adalah dasar dari harta orang-orang yang bangkrut.”[1]
Dalam sya’ir Arab juga disebutkan,
وَ لاَ تَرْجِ عَمَلَ اليَوْمِ إِلَى الغَدِ لَعَلَّ غَدًا يَأْتِي وَ أَنْتَ فَقِيْدُ
Janganlah engkau menunda-nunda amalan hari ini hingga besok
Seandainya besok itu tiba, mungkin saja engkau akan kehilangan
Dari Abu Ishaq, ada yang berkata kepada seseorang dari ‘Abdul Qois, “Nasehatilah kami.” Ia berkata, “Hati-hatilah dgn sikap menunda-nunda (nanti & nanti).” [2]
Al Hasan Al Bashri berkata, “Hati-hati dgn sikap menunda-nunda. Engkau sekarang berada di hari ini & bukan berada di hari besok. Jika besok tiba, engkau berada di hari tersebut & sekarang engkau masih berada di hari ini. Jika besok tak menghampirimu, maka janganlah engkau sesali atas apa yang luput darimu di hari ini.”[3]
Itulah yang dilakukan oleh kita selaku penuntut ilmu. Besok sajalah baru hafal matan kitab tersebut. Besok sajalah baru mengulang hafalan qur’an. Besok sajalah baru menulis bahasan fiqih tersebut. Besok sajalah baru melaksanakan shalat sunnah itu, masih ada waktu. Yang dikatakan adalah besok & besok, nanti & nanti sajalah.
Jika memang ada kesibukan lain & itu juga kebaikan, maka sungguh hari-harinya sibuk dgn kebaikan. Tidak masalah jika ia menset waktu & membuat urutan manakah yang prioritas yang ia lakukan karena ia bisa menilai manakah yang lebih urgent. Namun bagaimanakah jika masih banyak waktu, benar-benar ada waktu senggang & luang utk menghadiri majelis ilmu, muroja’ah, menulis hal manfaat, melaksanakan ibadah lantas ia menundanya. Ini jelas adalah sikap menunda-nunda waktu yang kata Ibnul Qayyim termasuk harta dari orang-orang yang bangkrut. Yang ia raih adalah kerugian & kerugian.
Lihatlah bagaimana kesibukan ulama silam akan waktu mereka. Sempat-sempatnya mereka masih sibukkan dgn dzikir & mengingat Allah.
Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.”[4]
Subhanallah … Lisan selalu terjaga dgn hal manfaat dari waktu ke waktu.
Ingatlah nasehat Imam Asy Syafi’i –di mana beliau mendapat nasehat ini dari seorang sufi-[5], “Aku pernah bersama dgn orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. (Di antaranya), dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”[6]
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.”[7]
Semoga Allah memudahkan kita utk memanfaatkan waktu kita dgn hal yang bermanfaat & menjauhkan kita dari sikap menunda-nunda.
Wabillahit taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Riyadh-KSA, 26 Rabi’uts Tsani 1432 H (31/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 1/456, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat pula Ar Ruuh, Ibnul Qayyim, 247, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah; Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/325, Muassasah Ar Risalah; ‘Iddatush Shobirin, Ibnul Qayyim, 46, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[2] Dinukil dari Ma’alim fii Thoriq Tholabil ‘Ilmi, Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdillah As Sadhaan, 30, Darul Qobis
[3] Idem
[4] Az Zuhud li Ahmad bin Hambal, 3/321, Asy Syamilah
[5] Ini menunjukkan bahwa tak masalah mendapat nasehat dari orang yang berpahaman menyimpang (semacam sufi) selama si penyimak tahu bahwa hal itu benar.
[6] Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[7] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi
sumber: www.muslim.or.id tags: Ulama Salaf,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar