BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?
Dr. Yusuf Qardhawi (1/2)
PERTANYAAN
Kami ingin mengetahui hukum boleh tidaknya laki-laki memandang perempuan, malah lebih khusus lagi, perempuan memandang laki-laki Sebab, kami pernah mendengar dari seorang penceramah bahwa wanita itu tidak boleh memandang laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.
Pertama, bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya, Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah menjawab, "janganlah ia memandang laki-laki dan jangan ada laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw. menciumnya seraya berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan
dari yang lain).1
Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya pernah berada di sisi Rasulullah saw. dan di sebelah beliau ada Maimunah, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang menghadap. Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab. Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian daripadanya!" Lalu kami berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah dia tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab, "Apakah kalian juga tuna netra?" Bukankah kalian dapat melihatnya?" (HR Abu Daud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi)
berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2
Pertanyaan saya, bagaimana mungkin wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih pada zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih dan apa maksudnya?
Saya harap Ustadz tidak mengabaikan surat saya, dan saya mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang terus saja memperdebatkan masalah ini dengan tidak ada ujungnya.
Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.
JAWABAN
Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya:
"Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (Yasin: 36)
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.
Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab, secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya:
"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 35)
Maka hiduplah mereka didalam surga bersama-sama, kemudian memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada Allah bersama-sama, turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:
"Allah beffirman, Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki selalu membutuhkan perempuan, tidak dapat tidak; dan perempuan selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat tidak. "Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan, sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani. Mereka adakan ikatan yang sangat ketat terhadap diri mereka dalam kependetaan ini yang tidak diakui oleh fitrah yang sehat dan syariat yang lulus, sehingga mereka lari dari perempuan, meskipun mahramnya sendiri, ibunya sendiri, atau saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas diri mereka melakukan perkawinan, dan mereka menganggap bahwa kehidupan yang ideal bagi orang beriman ialah laki-laki yang tidak berhubungan dengan perempuan dan perempuan yang tidak berhubungan dengan laki-laki, dalam bentuk apa pun.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?
"Dan orang-orangyang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain..." (at-Taubah: 71)
Telah saya kemukakan pula pada bagian lain dari buku inibahwa Al-Qur'an telah menetapkan wanita - yang melakukan perbuatan keji secara terang-terangan - untuk "ditahan" di rumah dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang dapat memberikan kesaksian kepadanya. Hukuman ini terjadi sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan diwajibkannya hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini - berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan - bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif.Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan), dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Kita tidak boleh melupakan hakikat ini, ketika kita membicarakan hubungan laki-laki dengan perempuan atau perempuan dengan laki-laki. Kita tidak dapat menerima pernyataan sebagian orang yang mengatakan bahwa dirinya lebih tangguh sehingga tidak mungkin terpengaruh oleh syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas secara satu persatu antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan dan perempuan terhadap laki-laki.
LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN
Bagian pertama dari pernyataan ini sudah kami bicarakan dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya memakai cadar, dan kami menguatkan pendapat jumhur ulama yang menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah "wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan." Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, yakni:
"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu."
Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya, pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw., "Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw. menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka."
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.
WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI
Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata:
"Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)
Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?
Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah saw. pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.
Para fuqaha hadits berusaha mengompromikan antara hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau mentarjih (menguatkan salah satunya). Imam Bukhari mengatakan dalam kitab sahihnya "Bab tentang Paha," diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi saw. pernah membuka pahanya." Hadits Anas ini lebih kuat sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar